Kopi Silahturahim

Wonosobo, desember 2015, kota di dataran tinggi yang diapit oleh dua gunung, sindoro sumbing, mempunyai temperatur yang sangat dingin, kabut senantiasa hadir dalam setiap pandangan jalan, lembah dan jurang yang terlihat samar dari balik jendela mobil menyusuri jalan yang berkelok, selokannya mengalir air yang jernih dan deras dari atas pengunungan.

<--Jason In the box-->

Pemberhentianku tidak jauh dari pasar Wonosobo, tepatnya desa Wonobungkah, tempat teman semasa kuliah dulu, hampir 2 tahun kami tidak bertemu, pertemuan ini aku lakukan untuk sekadar sowan sebelum temanku menikah dan tentunya yang utama, kunjungan ini untuk silahturahmi dengan keluarganya yang juga sudah cukup mengenalku dengan baik.

Pagi itu, aku sampai dirumah dari temanku, disambut dengan salam tangan dan menempelkan pipi kanan dan kiri, untuk menebus rindu yang sudah lama tak tertebus.

Berbincang ringan diruang keluarga, hawa dingin tiba-tiba mengepung saat aku duduk, mungkin dikarenakan aku tidak melakukan aktivitas apapun, ditambah kaki ku menjejak lantai rumah yang juga dingin.

Sesaat berbincang, tuan rumah menawarkan minuman hangat yang tanpa perlu aku jawab, tuan rumah langsung menarik kesimpulan bahwa pasti aku membutuhkan segelas kopi setelah perjalanan panjang, dan keramahan tuan rumah tentunya tidak perlu ditawar lagi, aku anggukkan saja kepala ku sebagai tanda setuju.

Kesan yang muncul dalam benak ku ialah, selain keramahtamahan sang tuan rumah, minuman yang ditawarkan, yaitu kopi, mempunyai tempat khusus dalam tradisi menyambut tamu yang datang untuk silahturahmi, ditambah kalau yang silahturahmi berkelamin lelaki, kopi menjadi tawaran pertama yang akan diajukan oleh tuan rumah.

Datang kembali dengan beberapa gelas diatas nampan, balutan hitam pekat dan samar uap air yang mendidih, disajikan dengan gelas belimbing dengan piring kecil lagi sebagai alas untuk gelas, tuan rumah langsung mengatur susunan gelas-gelas tersebut ke semua orang diruang tamu.

“Ayo diminum, sebelum dingin” seru tuan rumah, dan memang, tegukan pertama, air mendidih yang dituang tadi didapur, panasnya sudah mulai berkurang saat menyentuh bibirku.

Obrolan berlanjut, mengenang masa-masa kuliah, bercengkrama dengan orangtua sang tuan rumah, kopi pun tak terasa sudah menemui pangkal ampasnya.

Tak lama setelah menemui pangkal ampas, sang tuan rumah mengajak untuk makan siang. Dan seperti yang diduga, kopi kembali keluar sebagai pelengkap silahturahmi sesaat setelah aku menyelesaikan makan siang dan pindah dari ruang makan ke ruang tamu lagi untuk melanjutkan obrolan.

Matahari hampir tenggelam, hawa dingin semakin mencengkeram tubuhku, dan kopi selalu hampir tidak pernah lagi menemui pangkal ampas, selalu diganti dengan yang baru oleh sang tuan rumah.

Malam pun tiba dan waktu berpamitan sudah hampir dekat, tetapi sampai saat aku berpamitan pun, kopi terakhir sengaja dihidangkan sebagai penutup obrolan sebelum aku pulang, hampir satu jam sejak berpamitan, kami masih mengobrol dengan kopi silaturahim terakhir yang disediakan.

Malam makin larut, kopi penutup sudah sampai pada pangkal ampasnya, barulah aku berpamitan. Menyusuri kembali jalan berlembah yang sudah disesaki oleh kabut dan jalanan yang dihimpit oleh gunung sindoro dan sumbing untuk kembali ke kota kami, Semarang.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *