Kafe-Kafe “Belle Epoque”

AKHIR ABAD 19 adalah era dimana berkembangnya budaya café di seluruh Eropa, terutama di Perancis, Jerman dan Astro-Hungary. Hal ini terjadi seiring dengan transformasi industrial yang menstimulasi modernisasi tatanan kota-kota yang dipengaruhi dengan semakin banyaknya  pedagang-pedagang dan pengusaha kelas tinggi yang membutuhkan nuansa baru.

<--Jason In the box-->

Baik di Eropa bagian Tengah maupun bagian Barat, kota-mota metropolis mulai di rancang dan di desain kembali dengan dengan paksaan pada lingkungan yang tidak mau mengikuti budaya baru ini, bahkan dengan memakai sarung tangan yang sedikit menunjukkan keindahan, pada masa tersebut dapat menunjukkan citra sebagai individu yang terhormat.

Paris, Berlin, Praha, Bugdapest dan Wina mengalami perubahan yang sangat signifikan. Gang-gang kecil dan sempit digantikan dengan jalanan yang dipenuhi dengan kafe-kafe besar dimana masing-masing memiliki keunikan dibandingkan dengan yang lainnya (melalui arsitektur pseudo-classical yang baru dimana bagi sebagian orang melihat gaya arsitektur tersebut sebagai warisan desain kerajaan yang sudah runtuh atau gagal, hal tersebut tidak membuat mereka kembali mengadaptasi gaya arsitektur Greco-Roman yang biasa mereka pergunakan sebelumnya).

Namun, terdapat dampak lain dari proyek perubahan kota ini yang telah berdiri selama berabad-abad. Meski lebih banyak aliran udara yang masuk dan lebih bersih, segelintir orang memberikan penilaian buruk terhadap terhadap gaya desain bundaran jalan yang terkesan kaku, seperti roda yang terdapat di peralatan perang militer.

Jika ‘Belle Epoque’ terlihat megah, terdapat sisi lain yang mendukung gagasan ini. Sekelompok besar orang telah masuk membanjiri kota dengan berbagai sudut pandanng dan gagasan yang mereka miliki. Kekayaan yang dihasikan dari semakin pesatnya proyek industrial telah memicu perubahan yang cepat pada saat abad ini berakhir, menciptakan dunia yang dipenuhi rasa kekaguman dan juga bahaya. Mungkin adalah kaum borjuis yang telah merencakan kota baru ini, tetapi buruh bangunanlah yang telah menciptakan ini.

Banyak ide-ide yang keluar selama masa ini dan kafe adalah tempat dimana mereka menggunakan ide-ide tersebut. Dengan makin berkembangnya tingkat ekonomi masyarakat, pun mengiringi semakin cemerlangnya ide-ide dari para seniman untuk menciptakan karya-karya yang indah. Kafe-kafe ini adalah tolak ukur mahakarya mereka.

Kota-kota yang ditinggali sementara di sepanjang kerjaan Austro-Hungaria—Wina, Budapest, Praha—merupakan tempat dimana kafe-kafe memegang peranan penting dalam mewujudkan impian multikulturalisme, impian tersebut dapat terlihat dari datangnya orang-orang dari berbagai daerah, diantaranya yang berasal dari Crimea, Ruthenia, Moravia, Bosnia dan Ukraina. Seringkali, pada saat ini, kita hanya melihat  kafe yang bagus dari hanya dimana terdapat artis, penuli, atau orang ternama sering berkunjung,  tetapi bukan hal tersebut yang menarik pada saat itu. Sekarang kafe-kafe kopi hanya menjadi sebuah museum yang dikunjungi untuk tujuan bernostalgia, tapi pada masa jayanya kafe-kafe kopi merupakan rumah bagi orang-orang biasa yang kemudian menjadi inspirasi banyak orangdisekelilingnya, banyak hasil karya mereka yang berasal dari permenungan secangkir kopi yang tidak pernah berhenti mereka nikmati dan menstimulasi ide-ide kreatif mereka untuk dituangkan dalam berbagai media.

Seperti yang dicetuskan oleh Georges Mikes dalam karya fotografinya dibagian pendahuluan , karya Fotografi yang berjudul Kedai-kedai Kopi di Eropa, Rumah Kopi di Eropa tengah bukan sebuah tempat; tapi gaya hidup tersendiri:

Masing-masing jenis pekerjaan biasanya memiliki tempat meminum kopinya sendiri, meja biasa untuk tamu biasa. Tiap kelompok atau anggota sub-kelompok memiliki tempat berkumpulnya masing-masing di tiap rumah kopi. Selain terdapat meja-meja yang selalu diisi oleh para artis, terdapat juga kedai-kedai kopi yang berisikan kelompok pedagang, dokter gigi, pedagang kuda, politikus dan penjahat. Dalam dunia kriminal, kafe kopi juga terbagi dalam beberapa tempat. Seorang pencopet tidak akan diterima duduk bersama para pembobol brankas.’

Menurut Mikes, kedai kopi di Wina terdapat dua-puluh delapan jenis minuman kopi. Para konsumen dapat memilih ukuran cangkir kecil, sedang, atau besar; disajikan dalam citarasa yang ringan atau kuat, panjang atau pendek tergantung dengan ratio jumlah air yang terdapat dalam gelas atau dalam ketel, dan dapat dicampur dengan atau tanpa susu atau krim. Istilah atau julukan untuk menggambarkan minuman kopi sangat banyak dan bervariasi, termasuk munculnya istilah seperti ‘Kapunizer’, sebuah sebutan yang menggambarkan jubah hitam yang biasa digunakan oleh pendeta.

Mikes mengaku kaget mengetahui bahwa kedai kopi di Eropa tengah berasal dari Wina dan bukan dari Hungaria dimana Hungaria merupakan bagian dari Kerajaan Ottoman sejak lama. Kaum buruh Magyar tidak pernah dimasukan ke dalam budaya Turki dan bahkan sempat terkejur melihat warga Turki mengkonsumsi kopi tiap kali mereka habis makan. Terdapat Hungaria yang dapat diartikan—‘Sup hitam belum muncul’, yang dilontarkan oleh Mikes sebagai sindiran untuk bangsa Turki karena melekatnya budaya minum kopi selepas mereka makan.

Namun kita tidak akan pernah mengetahui kebenaran setelah melihat beberapa kafe di Budapest dan hubungan kopi dengan para imigran Hungaria. Malahan, ketika Mikes tinggal di London pada awal 1970, salah satu kedai kopi favoritnya adalah sebuah tempat yang mengesankan terletak di South End Green, dimana tempat tersebut merupakan tempat berkumpulnya pengungsi Hungaria yang gemar bermain catur sembari menikmati kopi mereka. Mikes ingat salah satu pelanggan tetapnya pernah berujar hanya diperlukan papan catur, secangkir kopi yang hangat dan kafe yang mengeluarkan asap yang akan membuat mereka serasa di rumah.

Sementara di Wina dan Budapest kedai kopi adalah tempat untuk menikmati kopi dengan segala macam bentuk, kafe-kafe di Paris lebih mengedepankan alkohol yang dicampur dengan kopi sebagai bahan pelengkap. Selama masa yang cukup lama masyarakat Paris mengkonsumsi brandy dan melupakan kafein; tetapi tidak berlaku bagi sebagain artis dan penulis yang membuat kafe sendiri di rumah mereka. Malahan, terdapat sebuah cerita indah dimana Henri Murger mengkaitkan kunci nadanya clef Scènes de la vie de bohème, dibuat berdasarkan suara dari kompor yang memasak kopi. (Seolah-olah ketertarikannya terhadap kopi dan suasana pembuatannya sangat mempengaruhi karyanya).

Kafe-kafe untuk kelas pekerja rendah berdiri dibelakang kafe-kafe besar yang berisikan orang-orang dengan pakaian mahal. Terdapat juga kaum-kaum yang berkuasa dan kaum biasa saja di dalam kafe besar ini.

Disini para pelayan yang mengenakan tuxedo menggiling kopi dengan cekatan. Diluar sorotan ini terdapat ribuan tempat kecil dimana orang-orang biasa Paris menikmati kopi pagi dan sarapannya. Biasanya tempat ini dijalankan oleh keluarga, kafe kaum pekerja ini bermunculan hampir di setiap sudut kota, menyediakan tempat yang aman dan nyaman untuk sekedar membaca dan menulis dan bergosip dan aktivitas lainnya; masing-masing kafe ini memiliki ciri khas dengan pelanggan-pelanggan mereka yang unik.

Setelah masa Haussmaan Paris, kaum kaya dan miskin dibatasi oleh jurang vertikal yang diatur dimana jika di analogikan pada sebuah apartemen, kaum borjuis berada di lantai paling bawah dengan lantai atas diiisi oleh mereka yang paling menderita.

Berbanding terbalik dengan kedai-kedai kopi di Eropa Tengah, kopi disajikan pada kafe-kafe di Paris biasanya di sajikan secara biasa saja. Kopi akan disajikan berwarna hitam atau putih tanpa tambahan apapun. Tapi kopi untuk sarapan menjadi bagian penting dalam budaya—sangat berpengaruh sehingga pada segi penyajian kopi, yang sering mengunjungi kafe di jalanan setapak di Montmartre, membuat seni lukisan pada permukaan kopi hampir sebagai sebuah genre, dan yang sekarang dikenal sebagai latte art.

Kaum bohemia Paris pada fin de siecle menciptakan lukisan mitologi untuk ditukarkan dengan kopi dan brandy. Terlepas dari cerita ini benar atau tidak, kita tidak akan pernah tahu kebenarannya. Tetapi bagi generasi seniman yang lebih muda, cerita mengenai pertukaran lukisan ini akhirnya mempengaruhi cara mereka bekerja, yang selalu mengkonsumsi kopi dan mencampurkannya dengan minyak lukisan.

 

A People’s History of Coffee and Cafes

Bod Binderman

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *